Rabu, 28 Desember 2011

ALERGI PADA ANAK (Dapatkah dicegah?) - Dr.dr.Zakiudin Munasir SpA(K)


Oleh Fransiska Sri Susanti di Room for Children ·
ALERGI PADA ANAK
(Dapatkah dicegah?)
Dr.dr.Zakiudin Munasir SpA(K)

Angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir meningkat sejalan dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun zat-zat yang ada dalam makanan.
Kata alergi berasal dari bahasa Yunani ‘allol’ yang berarti suatu keadaan yang berubah. Secara umum alergi adalah suatu reaksi kekebalan yang menyimpang/berubah dari normal yang dapat menimbulkan gejala yang merugikan tubuh. Penyakit alergi ini merupakan salah satu penyakit yang dapat diturunkan. Angka kejadian alergi pada anak di Indonesia belum banyak diteliti. Dari penelitian yang kami lakukan di Kelurahan Utan Kayu Jakarta Pusat didapatkan 25.5% anak yang menderita alergi dengan perincian rinitis alergika 9,0%, dermatitis atopik 4,9% dan urtikaria 4,5%.
Di Amerika Serikat dilaporkan angka kejadian alergi pada anak pra sekolah 10 – 12% dan pada usia sekolah 8,5 – 12,2%.
Penyakit alergi hanya mengenai anak yang mempunyai bakat alergi yang disebut atopik. Artinya ada bakat atopik /alergi yang diturunkan oleh salah satu atau kedua orangtuanya. Sejalan dengan perkembangan pengtahuan dalam bidang alergi, ternyata penyakit alergi ini bisa dicegah timbulnya bila kita lakukan tatalaksana/intervensi sejak dini.
Dalam tubuh kita dikenal 5 jenis antibodi atau imunoglobulin yaitu imunoglobulin G,A,M,E dan D. imunoglobulin E adalah antibody yang banyak berperan pada reaksi alergi. Dalam tubuh penderita alergi, imunoglobulin E terdapat dalam kadar yang tinggi terutama imunoglobulin E yang spesifik terhadap zat-zat tertentu yang menimbulkan reaksi alergi (zat allergen). Misalnya debu rumah, mite (tungau debu rumah), bulu binatang, serbuk bunga atau makanan tertentu seperti telur, susu, ikan laut dan lain-lain. Bila zat-zat seperti histamin dll. Yang dapat menimbulkan gejala-gejala alergi seperti gatal-gatal (biduran), sistim saluran napas (asma, rinitis), saluran cerna (diare, muntah), kulit (biduran, eksim), mata (konjungtivitis alergika) serta susunan saraf (sakit kepala dll).

Tindakan pencegahan terjadinya alergi
Ada 3 hal utama dalam tindakan pencegahan terjadinya alegi yaitu pengindaran, cara hidup yang baik serta pemakaian obat-obatan. Tindakan penghindaran akan berhasil bila penyebab/pencetus terjadimya alergi diketahui. Salah satu cara untuk mengetahui pencetus alergi ialah dengan melakukan uji kulit (test alergi) disamping hasil pengamatan yang cermat sehari-hari oleh orang tua penderita. Dari hasil pemeriksaan test alergi dapat diketahui zat-zat yang menimbulkan alergi. Beberapa zat terutama makanan kadang-kadang tidak ada hubungan yang jelas antara hasil test dengan gejala alergi. Hal ini disebabkan karena alergi terhadap makanan itu sendiri, akan tetapi alergi terhadap zat-zat hasil pemecahan/metabolisme makanan dalam tubuh. Selain test alergi pada kulit, juga dapat dilakukan pemeriksaan kadar imunoglobulin E yang spesifik dalam darah terhadap zat-zat tertentu yang dicurigai menimbulkan alergi.
Cara hidup yang baik perlu diperhatikan pada penderita alergi yaitu cukup istirahat, olahraga teratur, disiplin dalam diet yang ditetapkan serta hidup dalam lingkungan dengan zat alergen yang minimal. Obat-obatan pencegahan diberikan pada penderita alergi yang kronis/berat atau yang sering kambuh. Pemberian imunoterapi/desensitisasi (pengebalan terhadap allergen) hanya berhasil bila penderita hanya mempunyai alergi terhadap satu zat saja.
Pencegahan dini sebelum terjadi gejala alergi
Saat ini banyak diupayakan pencegahan timbulnya gejala alergi pada anak yang lahir dari keluarga yang mempunyai bakat atopik/alergi. Diantaranya adalah pencegahan dini yaitu dimulai pada saat anak masih dalam kandungan. Ibu hamil yang mempunyai riwayat alergi dalam keluarganya tidak perlu melakukan diet pencegahan terhadap makanan yang sering menimbulkan alergi untuk mencegah terjadinya reaksi alergi pada bayi yang dilahirkan. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya kekurangan gizi dalam kandungan.Yang penting adalah penghindaran terhadap asap rokok baik sebagai perokok aktif maupun pasif. Pemberian ASI eksklusif dilaporkan dapat mencegah terjadinya alergi di kemudian hari. Tindakan pencegahan terhadap makanan yang menimbulkan alergi perlu dilakukan oleh ibu menyusui dan ini diteruskan sampai usia 1 – 2 tahun, dengan harapan bila makanan diberikan pada pada usia tersebut, sudah tidak menimbulkan alergi lagi. Pemberian probiotik pada kehamilan trimester terakhir dan ibu menyusui sampai umur 6 bulan dilaporkan dapat mencegah kejadian dermatitis atopik pada bayinya.Selain penghindaran terhadap makanan yang hiperalergenik, perlu juga dilakukan penghindaran alergen yang berasal dari lingkungan misalnya tungau debu rumah (pembersihan berkala, hindari pemakaian karpet dan lain-lain), polusi asap rokok dan lain-lain.
Bila anak tidak mendapat ASI, dapat diberikan susu formula yang hipoalergenik atau terhidrolisis parsial

Jumat, 23 Desember 2011

Anak Susah Makan

DOKTER, KENAPA YA ANAK SAYA SUSAH MAKAN….?
dr. Rini Purwanti, SpA - for "Room for Children" Group

Paling pusing kalau dapat pertanyaan seperti ini. Karena pertanyaan yang terdiri dari 7 kata itu, jawabannya bisa satu buku textbook sendiri. Dan waktu konsultasi yang cuma 10-15 menit kadang kurang itu belum tentu bisa memenuhi keingintahuan orangtua kenapa anaknya susah makan. Ekspektasi orangtua biasanya cuma satu,”Dok,kasih vitamin yang paling bagus ya, supaya nafsu makannya ada.”Duh, dokternya tambah puyeng kalau begini. Diberikan kok sepertinya juga tidak sepenuhnya benar, tidak diberi orangtuanya kecewa. Kesimpulannya, ya tetap harus ada penjelasan kepada orangtua. Anak susah makan bukan vitamin jawabannya, Bunda. Banyaaaaak sekali penyebab mengapa anak susah makan dan berat badannya tidak naik, sehingga yang perlu kita cari tahu adalah akar permasalahannya.

Kadang keluhan orangtua ini tidak cocok dengan kondisi status gizi anaknya. Bundanya mengeluh anaknya sulit makan, tetapi status gizi anaknya baik. Usut diusut ternyata si anak bukan susah makan, tapi dia terlalu banyak ngemil dan minum susu sehingga saat makan tiba, dia sudah kenyang.

Berikut saya coba membahas secara sekilas mengapa anak “susah makan”
Perkembangan ketrampilan makan anak itu sudah dimulai sejak lahir. Insting bayi baru lahir untuk “makan” sudah ada terbukti dengan kemampuannya mencari puting susu ibunya saat inisiasi menyusu dini. Ketrampilan makan ini akan berkembang pesat pada usia 6 – 9 bulan dan berlangsung terus sampai usia 3 tahun. Dengan demikian usia tersebut merupakan fase kritis untuk melatih anak makan dengan baik. Kesalahan yang terjadi pada usia ini dapat menetap bertahun-tahun lamanya dan berdampak pada status gizi anak. ASI eksklusif (ASIX) merupakan awal yang baik untuk dasar pemberian makan. Anak yang mendapat ASIX cenderung lebih mudah mentolerir pemberian makanan padat dibanding bayi yang mendapat susu formula. Memberi makan pada bayi yang baru mengenal makanan padat tentu berbeda. Judulnya saja belajar, jadi tidak harus selalu berhasil pada setiap pemberian makan. Prinsipnya hanya mengenalkan makanan padat, tidak ada target sang bayi harus menghabiskan kuantitas makanannya. Makanan utama bayi kurang dari satu tahun kan cuma susu.

Syarat mengenalkan makanan adalah satu bahan setiap kali mengenalkan jenis makanan baru selama beberapa hari (biasanya 4-5 hari). Budaya ortu sebaliknya, mencampur seluruh isi lemari es dan memblendernya jadi satu. Alasannya supaya si anak tidak kurang gizi. Jangan takut anak kekurangan gizi, tidak akan karena memang makanan utamanya masih susu kok. Justru karena itulah, Bunda bisa lebih leluasa mencoba-coba makanan pada si kecil di usia sampai 1 tahun ini tanpa takut kekurangan gizi. Kelebihan mencoba makanan dengan cara ini selain untuk melihat respon alergi anak, juga melatih anak mengenal semua rasa. Mulai dari sayur yang getir sampai ikan yang amis, sehingga anak tidak menjadi anak yang pilih-pilih makanan setelah lebih besar nanti.

Secara umum, ada tiga hal utama penyebab kesulitan makan pada anak:
1. Faktor organik
Yaitu apabila kesulitan makan memang disebabkan karena ada kelainan baik secara anatomis maupun fisiologis dari tubuh si anak. Seperti ada infeksi akut (radang tenggorokan, flu, diare, radang lambung),infeksi kronis (umumnya tuberkulosis atau infeksi saluran kemih asimptomatis). Kelainan bawaan juga bisa menyebabkan hal ini, seperti misalnya sumbing bibir dan langit-langit mulut. Gangguan persyarafan juga sangat mempengaruhi kemampuan makan anak, seperti bila si anak memiliki kondisi lumpuh otak (cerebral palsy) atau sindrom-sindrom terkait bawaan genetik. Kelainan bawaan dari lahir seperti penyakit jantung bawaan atau laringomalasia (tulang rawan daerah saluran nafas atas belum sempurna) juga sangat berperan dalam kesulitan makan, terkait besarnya usaha yang dikeluarkan anak untuk mengisap, mengunyah atau menelan makanan. Kelainan fungsi seperti refluks lambung juga sering menyebabkan kesulitan makan. Gangguan di rongga mulut, seperti sedang tumbuh gigi, sariawan atau banyaknya gigi yang bolong juga harus dievaluasi. Biasanya bila seorang anak mengalami kesulitan makan akibat gangguan organik, maka akan terlihat pada berat badannya yang tidak ideal.

2. Faktor psikologis
Terkadang faktor ini terabaikan oleh ibu, pengasuh atau bahkan dokternya. Kemampuan anak beradaptasi terhadap lingkungan dan sekitarnya di usia 6 bulan mulai berkembang pesat dan mencapai puncaknya pada usia prasekolah. Anak mulai belajar tentang konsep diri sebagai pribadi dan terkadang sangat ingin menunjukkan pada orang lain tentang kemandiriannya dan menentang dominasi orangtua. Bentuknya dapat sebagai penolakan (negativistic) bila diberi makan. Solusi yang cukup mudah, biarkan si anak makan sendiri. Berantakan? Ah, bisa dibersihkan kok.
Gangguan cemas perpisahan pun dapat memicu kesulitan makan, karena secara psikis anak tidak merasa kenyamanan yang biasa ia rasakan. Bunda, bayi pun bisa stres lho, manifestasinya terkadang menolak makan. Anak pun sedang gemar melakukan eksplorasi lingkungan dan akan menganggap bahwa makan sebagai ‘perusak’ kegiatan yang mengasyikan (apalagi kalau mamanya memberi makan dengan mata melotot dan tangan di pinggang ;D). Nah ini juga penting nya membuat lingkungan dan suasana makan si anak menyenangkan. Mencari perhatian pun sering dilakukan si anak dengan menolak makan. Apalagi kalau bundanya bekerja dan setiap hari biasa makan dengan pengasuh.

3. Faktor makanan
Poin terakhir ini juga tidak boleh dilupakan, justru kadang menjadi penyebab utama. Sekarang Bunda, coba tanya diri sendiri, apakah kalau makanan tidak enak rasanya, kita nafsu memakannya? Hhhm, pasti jawabnya tidak,kan? Lha, anak juga begitu! Jadi coba lihat lagi menu makanan yang kita berikan pada si anak. Jangan-jangan anak bosan makan dengan menu yang itu-itu saja. Mengetes anak kita tidak suka makan atau memang sulit makan gampang kok, Bun. Lihat saja, kalau di ajak makan di resto fast food, tiba-tiba dia jadi doyan makan, berarti ya memang dia bosan atau kurang suka masakan bundanya. Solusinya memang Bunda harus memperkaya wacana resep masakan supaya makanan si kecil bervarisi.
Terkadang Bunda mengeluh, anaknya tidak mau makan nasi, maunya makan mie. Lho, mie kan sumber karbohidrat juga. Kita terbiasa makan nasi karena budaya kita seperti ini. Orang Italia makanan utamanya pasta, orang Papua makanan utamanya sagu, beberapa suku di Afrika makan jagung dan umbi, sebagian besar orang Eropa dan Amerika makan roti sebagai sumber karbohidrat. Jadi tidak apa anak makan mie, selama pola makannya seimbang.
Minum susu terlalu banyak juga sering jadi biang kerok anak tidak mau makan. Minum susu berlebihan memang membuat berat badan si anak meningkat, tapi apakah gizinya seimbang? Jelas tidak! Mana seratnya? Hhmm, bisa-bisa malah si kecil datang lagi karena sembelit. Lagipula setelah satu tahun, anak cuma perlu susu sekitar 400ml per hari kok. Jadi ngga usah mendewakan susu ya, Bun? Usus orang Asia pun sebenarnya tidak didesain menjadi peminum susu seperti orang bule.
Mengemil terlalu banyak pun membuat anak tidak mau makan. Memang camilan bentuknya kecil-kecil dan imut-imut, tapi coba lihat isinya,deh. Hhm, tepung, coklat, susu, kacang, keju, hitung sudah berapa kalori tuh? Banyak lho, bun, jelas saja anaknya kenyang. Jadi upayakan memberi snack kurang lebih dua jam sebelum waktu makan ya? Mau snack yang lebih sehat lagi? Silahkan beri buah-buahan, Bunda.

Kira-kira seperti itu yang akan dievaluasi oleh seorang dokter pada anak dengan keluhan susah makan. Terkadang dokter pun membutuhkan beberapa pemeriksaan tambahan untuk menyingkirkan kelainan yang mungkin mendasari. Jadi vitamin bukan jawaban untuk anak yang tidak mau makan. Pemberian vitamin boleh diberikan selama ada indikasi seorang anak memang mengalami kekurangan vitamin tertentu. Semoga tulisan saya dapat memberi sedikit pencerahan terhadap Bunda yang anaknya susah makan.

KRITERIA PENGGUNAAN KONTRASEPSI BERDASARKAN CDC, 2010


REVISI METODE PENGGUNAAN KONTRASEPSI SELAMA MASA POSTPARTUM
 Naomi K. Tepper, MD; Kathryn M. Curtis, PhD; Denise J. Jamieson, MD; Polly A. Marchbanks, PhD,MEDSCAPE.
 
ABSTRAK
       Penggunaan kontrasepsi selama masa postpartum penting dilakukan untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan memperpanjang interval kelahiran, yang dapat menimbulkan masalah kesehatan ibu dan anak. Pada tahun 2010, CDC telah mempublikasikan U.S. Medical Eligibility Criteria for Contraceptive Use  (US MEC) yang merupakan pedoman penggunaan kontrasepsi, yang dilengkapi dengan evidence-based sebagai pertimbangan dalam pemilihan metode kontrasepsi. Dalam pemilihan metode kontrasepsi ini, keamanan penggunaan menjadi hal utama yang harus diperhatikan khususnya untuk wanita yang dengan karakteristik atau kondisi kesehatan tertentu, termasuk wanita yang masih dalam masa postpartum. Baru-Baru ini, CDC telah melakukan penilaian terhadap evidence yang memberikan informasi mengenai keamanan penggunaan kontrasepsi hormonal pada masa postpartum. Laporan ini merupakan ringkasan dari penilaian tersebut dan hasil dari revisi pedoman penggunaan kontrasepsi. Revisi rekomendasi ini berisi bahwa wanita postpartum tidak boleh menggunakan kontrasepsi hormonal kombinasi selama masa 21 hari setelah melahirkan oleh karena resiko tinggi untuk mendapatkan tromboemboli vena (TEV) selama masa ini. Masa 21-42 hari postpartum, pada umumnya wanita tanpa faktor resiko TEV dapat memulai penggunaan kontrasepsi hormonal kombinasi, tetapi wanita yang memiliki resiko TEV (riwayat TEV sebelumnya atau post melahirkan secara caesar), tidak boleh menggunakan metode kontrasepsi ini. Nanti, setelah masa 42 hari postpartum, barulah tidak ada pembatasan penggunaan kontrasepsi hormonal kombinasi yang berdasarkan pada keadaan pasien tersebut setelah melahirkan. 
 
Pentingnya penggunaan kontrasepsi selama Masa postpartum
Sebagian dari kehamilan di Amerika Serikat merupakan kehamilan yang tidak direncanakan, dan kehamilan-kehamilan tersebut biasanya diikuti dengan perilaku kehamilan yang merugikan dan memberikan beberapa dampak negatif, seperti terlambat melakukan prenatal care, kebiasaan merokok, meningkatkan insidensi bayi berat rendah, dan tidak menyusui asi secara ekslusif. Selain itu, interval kehamilan yang terlalu dekat juga dapat menghasilkan dampak negatif seperti, kelahiran bayi berat rendah dan bayi prematur. Masa postpartum merupakan masa yang cukup penting untuk memulai penggunaan kontrasepsi karena sebagai salah satu cara untuk menjaga kesehatan wanita dan juga dapat meningkatkan motivasi wanita untuk menghindari kehamilan berikutnya. Masa ovulasi dapat terjadi secepatnya pada umur 25 hari postpartum pada wanita yang tidak menyusui, yang menjadi alasan kuat buat wanita untuk menggunakan kontrasepsi secepat mungkin.
Meskipun demikian, keamanan pengggunaan kontrasepsi postpartum tetap juga harus dipertimbangkan. Perubahan hematologi secara normal akan terjadi selama kehamilan, termasuk peningkatan faktor koagulasi dan fibrinogen dan penurunan bahan antikoagulan alami, yang menyebabkan peningkatan resiko tromboemboli vena (TEV) selama masa postpartum. Selain itu, banyak wanita postpartum memiliki faktor resiko tambahan yang meningkatkan resiko tromboemboli, misalnya umur ≥ 35 tahun, merokok, atau melahirkan secara caesar. Hal-hal tersebut merupakan perhatian utama yang harus dipertimbangkan dalam penentuan penggunaan kontrasepsi oleh karena kontrasepsi hormonal kombinasi (estrogen dan progestin) itu sendiri memiliki efek samping yang bisa meningkatkan resiko tromboemboli pada wanita usia produktif.
 
Rasional dan Metode
Publikasi kriteria penggunaan kontrasepsi (US MEC) dilakukan pertama kali pada tahun 2010 oleh CDC Amerika Serikat. Laporan ini diadaptasi dari Medical Eligibility Criteria for Contraceptive Useyang dipublikasikan oleh WHO, yang disebarluaskan secara global sebagai pedoman penggunaan kontrasepsi berdasarkan evidence sejak tahun 1996. Meskipun demikian, pedoman yang dibuat oleh CDC ini mengadaptasi sejumlah kecil rekomendasi WHO dan ditambahkan beberapa rekomendasi baruuntuk tenaga medis di Amerika Serikat. Namun, umumnya rekomendasi antara pedoman WHO dan US MEC adalah sama. Rekomendasi yang diperoleh menggunakan kategori 1-4. Rekomendasi iniberdasarkan pada pertimbangan keuntungan dan kerugian signifikan dari keamanan penggunaan kontrasepsi itu sendiri bagi wanita dengan keadaan atau karakteristik kesehatan tertentu. Kategori 1 mewakili kelompok pasien yang bisa menggunakan kontrasepsi tanpa adanya pembatasan sedangkan kategori 4 merupakan kelompok yang sama sekali tidak bisa menggunakan alat kontrasepsi apapun (Tabel 1). CDC merevisi pedoman penggunaan kontrasepsi ini untuk menjamin bahwa rekomendasi tersebut berdasarkan pada bukti scientific terbaik yang tersedia berupa indentifikasi bukti baru atau berdasarkan pada update evidence-based yang dibuat sesuai dengan pedoman WHO.
Tabel 1. Up-date rekomendasi penggunaan kontrasepsi hormonal, termasuk kombinasi kotrasepsi oral, tempel, dan cincin vagina, selama masa postpartum pada ibu yang tidak menyusui.
Kondisi
Kategori
Klasifikasi/Bukti
Postpartum (tidak menyusui)
 
 
     a. < 21 hari
4
Bukti: Tidak terdapat bukti langsung yang berhubungan dengan resiko tromboemboli vena diantara ibu yang tidak menyusui yang menggunakan KHK. Resiko tromboemboli venaTEV meningkat selama kehamilan dan postpartum; resiko ini ditemukan pada minggu pertama setelah persalinan, menurun setelah hari ke-42 postpartum. Penggunaan KHK dapat meningkatkan resiko tromboemboli vena pada wanita sehat dalam umur reproduktif, yang menjadi resiko tambahan pada saat ini. Resiko kehamilan selama 21 hari postpartum cukup rendah, namun meningkat  setelahnya; ovulasi  sebelum menstruasi dapat terjadi.
     b.  21-42 hari
 
 
     Dengan faktor resiko TEV lainnya (seperti umur  ≥ 35 tahun, riwayat  TEV sebelumnya, thrombofilia, immobilitas, transfusi saat persalinan,IMT ≥ 30. Perdarahan postpartum, postcaesar, pre-eklampsi, atau merokok)
3
Klasifikasi: Pada ibu dengan faktor resiko TEV lainnya, faktor resiko ini kemungkinan akan meningkat ke kategori “4”, contohnya: merokok, Riwayat thrombosis vena dalam/emboli paru yang diketahui sebagai mutasi thrombogenik, dan kardiomiopati peripartum.
 
Bukti: Tidak terdapat bukti langsung pemeriksaan resiko TEV diantara wanita postpartum menggunakan KHK. Resiko TEV meningkat selama kehamilan dan postpartum; resiko ini ditemukan pada minggu pertama setelah persalinan, menurun mendekati basal pada 42 hari postpartum. Penggunaan KHK, meningkatkan resiko TEV untuk wanita usia produktif yang sehat, yang dapat menambah resiko penggunaan pada masa ini.
     Tanpa Resiko TEV lainnya
2
 
         c.  > 42 hari
1
 
Keterangan :
TEV= trmboemboli vena; KHK= kontrasepsi hormonal kombinasi; IMT= indeks massa tubuh (berat [kg]/tinggi [m2]). *Kategori: 1= kondisi dimana tidak terdapat pembatasan penggunaan KHK, 2= kondisi dimana keuntungan penggunaan KHK umumnya lebih banyak disbanding resiko yang didapatkan, 3= kondisi dimana resiko yang ditemukan lebih banyak dibandingkan keuntungannnya, 4= kondisi dimana wanita tidak dibolehkan menggunakan alat kontrasepsi apapun.
 
Di tahun 2010, berdasarkan bukti-bukti terbaru, WHO merevisi panduan penggunaan kontrasepsi hormonal kombinasi (KHK) yang aman pada wanita postpartum yang tidak menyusui, dimana tidak boleh menggunakan kontrasepsi ini sampai masa 42 hari pertama postpartum, utamanya wanita-wanita yang dengan faktor resiko TEV. Sedangkan untuk wanita yang menyusui tidak mengalami perubahan. Oleh karena adanya revisi yang dilakukan oleh WHO ini, CDC memulai proses penilaian apakah pedoman ini juga harus mengalami pembaruan. Sebelum proses tersebut, US MEC merekomendasikan bahwa wanita yang melahirkan kurang dari 21 hari umumnya tidak harus menggunakan KHK, nanti setelah waktu tersebut, KHK dapat digunakan tanpa adanya pembatasan.
Berdasarkan dari review sistematik yang telah dilakukan oleh WHO dan CDC yang telah digunakansebagai konsultasi revisi panduan WHO, didapatkan bukti dari 13 penelitian menunjukkan resiko TEV pada wanita dalam 42 hari pertama masa postpartum adalah sebesar 22-84 kali lebih banyak dibanding wanita usia subur yang tidak hamil dan tidak dalam masa setelah melahirkan. Resiko ini paling tinggi ditemukan pada masa setelah baru saja melahirkan, menurun secara cepat setelah 21 hari pertama, namun tidak kembali ke kondisi normal sampai masa 42 hari postpartum. Penggunaan KHK dapat meningkatkan resiko TEV pada wanita usia subur yang secara teoritis dapat menjadi resiko tambahan untuk wanita yang menggunakannya pada masa postpartum. Namun, tidak terdapat bukti yang ditemukan mengenai hal tersebut. Bukti-bukti ini hanya terbatas pada penelitian yang berkaitan dengan interval waktu postpartum yang bisa menimbulkan TEV dan resiko TEV pada populasi tertentu yang dibandingkan dengan resiko TEV wanita postpartum. Bukti ini juga diperiksa pada wanita produktif yang baru melahirkan dan tidak menyusui, dimana menunjukkan bahwa masa ovulasi tercepat dapat terjadi pada hari ke-25 postpartum, namun ovulasi subur kemungkinan tidak akan terjadi sampai paling tidak 42 hari setelah melahirkan.
Sebagai bagian dalam penilaian ini, CDC mengambil 13 orang dari agensi luar untuk melayani timreviewer khusus yang merevisi rekomendasi WHO; mereka diseleksi berdasarkan keahlian mereka dalam penyakit tromboemboli, hematologi, dan “family planning”. Reviewer diminta untuk berpartisipasi dalam telekonferensi dengan CDC pada Januari 2011, selama telekonferensi berjalan, mereka mereview semuaevidence based dan menentukan apakah revisi pedoman penggunaan kontrasepsi yang dibuat WHOcocok digunakan di Negara Amerika Serikat. Kunci persoalan yang perlu diingat bahwa penggunaan KHK yang terlalu cepat pada masa postpartum memiliki resiko yang cukup tinggi untuk TEV tanpa adanya keuntungan dalam pencegahan kehamilan karena sebagian besar wanita yang tidak menyusui tidak akan mengalami ovulasi paling tidak setelah 42 hari setelah melahirkan. Kemudian, harus diingat kembali bahwa wanita dengan resiko TEV yang tinggi (contohnya: wanita dengan obesitas atau yang baru saja melahirkan secara Caesarpenggunaan KHK secara teoritis dapat meningkatkan resiko TEV. Itulah sebabnya, penggunaan metode kontrasepsi harus memperhatikan kategori wanita tersebut (berdasarkan grupnya). Meskipun demikian, tidak seperti metode lainnya yang harus mengunjungi dokter (implants atau IUD), KHK dapat dimulai oleh wanita itu sendiri sesuai dengan waktu yang direncanakan berdasarkan pada resep obat yang telah diberikan sebelumnya (saat proses persalinan terjadi di rumah sakit).

Rekomendasi Penggunaan Kontrasepsi Hormonal Kombinasi Selama Masa Postpartum
 CDC telah merekomendasikan revisi penggunaan kontrasepsi hormonal kombinasi (KHK) yang aman pada wanita postpartum yang tidak menyusui (tabel 1). Pada wanita yang melahirkan <21 hari, tidak dibolehkan menggunakan kontrasepsi hormonal kombinasi apapun oleh karena resiko kesehatan pada masa ini (Kategori 4). Pada wanita yang telah melahirkan antara 21-42 hari dan memiliki resiko tambahan TEV, resiko penggunaan KHK lebih banyak dari keuntungannya dan oleh karena itu, KHK tidak boleh digunakan (Kategori 3); namun, jika tidak ada resiko TEV tambahan, keuntungan penggunaan KHK lebih banyak dibandingkan resikonya, KHK dapat digunakan (Kategori 2). Pada wanita yang melahirkan > 42 hari, tidak ada pembatasan penggunaan KHK oleh karena resiko TEV yang semakin berkurang (Kategori 1). Meskipun demikian, keadaan medis lainnya dapat diambil sebagai pertimbangan dalam menentukan metode kontrasepsi yang akan digunakan.
Rekomendasi pengunaan kontrasepsi untuk wanita menyusui tidak mengalami perubahan. Rekomendasi ini dibuat berdasarkan bukti yang mengacu pada efek negatif yang dapat ditimbulkan dari penggunaan kontrasepsi hormonal pada ibu menyusui, misalnya menyingkatnya waktu untuk menyusui dan meningkatkan jumlah suplemen makanan tambahan. Pada wanita yang menyusui dan melahirkan kurang dari 1 bulan, kontrasepsi hormonal kombinasi dimasukkan dalam kategori 3 karena perhatian terhadap efek estrogen pada masa menyusui. Setelah 1 bulan, kontrasepsi hormonal kombinasi dimasukkan dalam kategori 2 untuk ibu menyusui. Meskipun demikian, beberapa revisi rekomendasi berdasarkan pada resiko TEV telah menggantikan ketentuan penggunaan kontrasepsi untuk kriteria ibu yang menyusui. Contohnya: kontrasepsi hormonal kombinasi diklasifikasikan dalam kategori 4 untuk semua ibu postpartum, termasuk ibu menyusui yang melahirkan < 21 hari.
Tabel 2.  Revisi rekomendasi penggunaan kontrasepsi hormonal kombinasi, termasuk kontrasepsi oral, tempel, cincin vagina, selama masa post-partum pada ibu yang menyusui.
Kondisi
Kategori
Klasifikasi/Bukti
Postpartum
(Ibu Menyusui)
 
 
Klasifikasi: Berdasarkan departemen pelayanan kesehatan dan manusia Amerika Serikat menetapkan bahwa bayi harus mendapatkan asi eksklusif selama 4-6 bulan pertama kehidupan, sebaiknya dalam masa 6 bulan. Idealnya, asi harus dilanjutkan sampai bayi berumur 1 tahun.
Bukti: Penelitian eksperimental memperlihatkan bahwaditemukan efek penggunaan kontrasepsi hormonal oral terhadap volume asi. Namun tidak berefek negatif pada berat badan bayi. Selain itu, penelitian juga tidak menemukan  adanya efek merugikan dari estrogen eksogen terhadap bayi yang terekspose dengan KHK selama masa menyusui. Secara umum, penelitian-penelitian ini masih memiliki kualitas yang rendah, kurangnya standar definisi dari menyusui itu sendiri atau pengukuran hasil yang tidak akurat, serta tidak memasukkan bayi prematur atau bayi yang sakit sebagai sampel percobaan. Secara teoretis, perhatian terhadap efek penggunaan kontrasepsi terhadap produksi asi lebih baik dilakukan pada masa awal postpartum disaat aliran asi sedang dalam masa permulaan.
a. < 21 hari
 
4
Bukti: Tidak terdapat bukti langsung mengenai resiko TEV pada ibu postpartum yang menggunakan KHK. Resiko TEV mengalami peningkatan selama kehamilan dan postpartum; resiko ini utamanya ditemukan pada minggu pertama setelah persalinan, menurun ke arah normal setelah 42 hari postpartum. Penggunaan KHK yang dapat meningkatkan resiko TEV pada wanita usia produktif yang sehat, kemungkinan dapat menjadi resiko tambahan jika digunakan pada masa ini. Resiko kehamilan dalam masa 21 hari setelah persalinan sangat rendah, namun akan meningkat setelah itu, kemudian kemungkinan ovulasi sebelum menstruasi pertama setelah persalinan dapat terjadi.
b. 21 sampai <30 hari
 
 
i.     Dengan faktor resiko TEV lainnya (seperti umur  ≥ 35 tahun, riwayat  TVE sebelumnya, thrombofilia, immobilitas, transfuse saat persalinan, IMT ≥ 30. Perdarahan postpartum, postcaesar, pre-eklampsi, atau merokok)
3
Klasifikasi: Untuk wanita dengan faktor resiko TEV, akan meningkat menuju klasifikasi “4”; contohnya, merokok, Trombosis Vena Dalam, yang diketahui sebagai mutasi thrombogenik dan kardiomiopati peripartum.
Bukti: Tidak terdapat bukti langsung mengenai resiko TEV pada wanita postpartum yang menggunakan KHK. Resiko TEV meningkat selama kehamilan dan masa postpartum; resiko ini utamanya ditemukan pada minggu pertama setelah persalinan, menurun ke arah normal setelah 42 hari persalinan. Penggunaan KHK, yang meningkatkan resiko TEV pada wanita usia reproduksi yang sehat dapat menimbulkan resiko tambahan jika digunakan pada masa ini.
ii.      Tanpa Resiko TEV lainnya
 
3
 
c. 30–42 days
 
 
i.   Dengan faktor resiko TEV lainnya (seperti umur  ≥ 35 tahun, riwayat  TVE sebelumnya, thrombofilia, immobilitas, transfuse saat persalinan, IMT ≥ 30. Perdarahan postpartum, postcaesar, pre-eklampsi, atau merokok)
 
3
Klasifikasi: Untuk wanita dengan faktor resiko TEV, akan meningkat menuju klasifikasi “4”; contohnya, merokok, Trombosis Vena Dalam, yang diketahui sebagai mutasi thrombogenik dan kardiomiopati peripartum.
Bukti: Tidak terdapat bukti langsung mengenai resiko TEV pada wanita postpartum yang menggunakan KHK. Resiko TEV meningkat selama kehamilan dan masa postpartum; resiko ini utamanya ditemukan pada minggu pertama setelah persalinan, menurun ke arah normal setelah 42 hari persalinan. Penggunaan KHK, yang meningkatkan resiko TEV pada wanita usia reproduksi yang sehat dapat menimbulkan resiko tambahan jika digunakan pada masa ini.
ii.   Tanpa Resiko TEV lainnya
2
 
 
c.       > 42 days
2
 
Keterangan:
TEV= Tromboemboli vena; KHK= Kontrasepsi Hormonal Kombinasi; IMT= Indeks Massa Tubuh (Berat [Kg]/ Tinggi [m2]; KOK= Kontrasepsi Oral kombinasi
*Kategori: 1= kondisi dimana tidak terdapat pembatasan terhadap penggunaan kotrasepsi, 2= kondisi dimana keuntungan penggunaan kontrasepsi umumnya lebih besar dari resiko teoritis dan yang ditemukan, 3= kondisi dimana resiko penggunaan kontrasepsi yang ditemukan lebih besar dibandingkan keuntungannya, 4= kondisi dimana ibu tidak dapat menggunakan kontrasepsi jenis apapun.
†Rekomendasi untuk ibu menyusui dibagi sesuai bulan berdasarkan US MEC, 2010. Rekomendasi ini dibagi berdasarkan hari untuk tujuan penggabungan dengan rekomendasi postpartum.
 
Dalam penilaian kesehatan resiko seorang wanita harus mempertimbangkan karakteristik serta kondisi medis yang dimiliki wanita tersebut. Untuk wanita postpartum, pemeriksaan ini meliputi penelusuran resiko TEV, misalnya mutasi trombogenik (kategori 4) atau riwayat TEV dengan faktor resiko rekurensi (kategori 4), yang keduanya merupakan resiko yang membatasi penggunaan kontrasepsi hormonal kombinasi, baik pada wanita postpartum ataupun tidak.
 
Rekomendasi Penggunaan Kontrasepsi Lainnya Selama Masa Postpartum
Rekomendasi penggunaan kontrasepsi lainnya, termasuk kontrasepsi hormonal progestin tunggal,tidak ada perubahan dan terdapat banyak pilihan kontrasepsi lainnya yang baik untuk wanita postpartum (tabel 3). Metode kontrasepsi tunggal (progestin), yang dalam bentuk pil, injeksi depot medroxyprogesterone asetat, dan implant, cukup aman untuk wanita postpartum, termasuk wanita yang menyusui, dan dapat dimulai sesegera mungkin setelah melahirkan (kategori 1 dan 2). AKDR, yang dalam bentuk levonorgestrel dan copper-bearing, juga dapat diinsersi selama masa postpartumsesegera mungkin setelah persalinan (kategori 1 dan 2) dan tidak memiliki komplikasi. Namun, laju ekspulsi AKDRlebih tinggi ketika insersi dilakukan dalam 28 hari setelah persalinan, dimana lajunya akan menetap sampaimasa 6 bulan postpartum sehingga hal ini mengharuskan adanya penundaan penggunaan jenis kontrasepsi ini. Kondom dapat digunakan kapan saja (kategori 1), dan cincin vagina dapat dimulai pada saat 6 minggu setelah persalinan (kategori 1 setelah 6 minggu). Selain itu, wanita yang telah memiliki jumlah anak yang cukup dapat dipertimbangkan tindakan sterilisasi. Kontrasepsi setelah persalinan cukup penting untuk menjaga kesehatan ibu dan anak, dan edukasi yang diberikan berfokus pada pilihan kontrasespsinya sertatingkat keamanan dalam pemakaian metode ini selama masa postpartum.
Tabel 3. Kesimpulan Pedoman Penggunaan Kontrasepsi Hormonal dan Alat Kontrasepsi Intrauterin Selama Masa Postpartum
KONDISI
KOK/P/R
PHP
DMPA
Implants
LNG-AKDR
Cu-AKDR
Postpartum
wanita tidak menyusui)
 
 
 
 
 
 
 
a. <21 Hari
 
4
1
1
1
 
 
b. 21 sampai 42 hari
 
 
 
 
 
 
 
i.  Dengan faktor resiko TEV lainnya (seperti umur  ≥ 35 tahun, riwayat  TVE sebelumnya, thrombofilia, immobilitas, transfuse saat persalinan, IMT ≥ 30. Perdarahan postpartum, postcaesar, pre-eklampsi, atau merokok)
 
3
1
1
1
 
 
ii. Tanpa Faktor Resiko TEV
2
1
1
1
 
 
c. >42 Hari
1
1
1
1
 
 
Postpartum (Menyusui§)
 
 
 
 
 
 
a. <21 Hari
4
2
2
2
 
 
b. 21 sampai <30 hari
 
 
 
 
 
 
i.  Dengan faktor resiko TEV lainnya (seperti umur  ≥ 35 tahun, riwayat  TVE sebelumnya, thrombofilia, immobilitas, transfuse saat persalinan, IMT ≥ 30. Perdarahan postpartum, postcaesar, pre-eklampsi, atau merokok)
 
3†
2
2
2
 
 
ii. Tanpa Resiko TEV
3
2
2
2
 
 
c. 30–42 Hari
 
 
 
 
 
 
i.  Dengan faktor resiko TEV lainnya (seperti umur  ≥ 35 tahun, riwayat  TEV sebelumnya, thrombofilia, immobilitas, transfuse saat persalinan, IMT ≥ 30. Perdarahan postpartum, postcaesar, pre-eklampsi, atau merokok)
3
1
1
1
 
 
ii. Tanpa resiko TVE
2
1
1
1
 
 
d. >42 hari
2
1
1
1
 
 
Postpartum (menyusui ataupun tidak menyusui termasuk post persalinan secara caesar)
 
 
 
 
 
 
a. <10 menit persalinan plasenta
 
 
 
 
 
 
2
1
b. 10 menit setelah persalinan plasenta sampai 4 minggu
 
 
 
 
 
 
2
2
c. ≥4 minggu
 
 
 
 
 
 
1
1
d. Sepsis Puerperal
 
 
 
 
 
 
4
4
KETERANGAN:
KOK= Kontrasepsi Oral Kombinasi; P= Kombinasi Hormonal Tempel; R= Kombinasi Cincin Vagina; PHP= Pil Hormon Progestin; DMPA= Depot medroxyprogesteron Asetat; AKDR= Alat Kontrasepsi Dalam Rahim; LNG-AKDR= Levonogestrel- AKDR; Cu-AKDR= Copper-AKDR; TEV= Tromboemboli Vena; KHK= Kontrasepsi Hormonal Kombinasi; IMT= Indeks Massa Tubuh (Berat [kg]/ tinggi [m2]).
·   Kategori: 1= kondisi dimana tidak terdapat pembatasan terhadap penggunaan kotrasepsi, 2= kondisi dimana keuntungan penggunaan kontrasepsi umumnya lebih besar dari resiko teoritis dan yang ditemukan, 3= kondisi dimana resiko penggunaan kontrasepsi yang ditemukan lebih besar dibandingkan keuntungannya, 4= kondisi dimana ibu tidak dapat menggunakan kontrasepsi jenis apapun. 
 Klarifikasi: Untuk wanita dengan faktor resiko TEV, kateori akan meningkat menuju klasifikasi “4”; contohnya, merokok, Trombosis Vena Dalam, yang diketahui sebagai mutasi thrombogenik dan kardiomiopati peripartum.
§Rekomendasi untuk ibu menyusui dibagi sesuai bulan berdasarkan US MEC, 2010. Rekomendasi ini dibagi berdasarkan hari untuk tujuan penggabungan dengan rekomendasi postpartum.
 
REFERENSI
1.  CDC. Contraceptive use among postpartum women—12 states and New York City, 2004–2006. MMWR 2009;58:821–6.
2.  CDC. U.S. medical eligibility criteria for contraceptive use, 2010: adapted from the World Health Organization medical eligibility criteria for contraceptive use, 4th edition. MMWR 2010;59(No. RR-4).
3. Gipson JD, Koenig MA, Hindin MJ. The effects of unintended pregnancy on infant, child, and parental health: a review of the literature. Stud Family Plann 2008;39:18–38.
4. Zhu BP. Effect of interpregnancy interval on birth outcomes: findings from three recent US studies. Int J Gynecol Obstet 2005;89(Suppl 1):S25–33.
5.  Jackson E, Glasier A. Return of ovulation and menses in postpartum, non-lactating women: a systematic review. Obstet Gynecol 2011;117:657–62.
6. World Health Organization. Combined hormonal contraceptive use during the postpartum period. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 2010. Available athttp://www.who.int/reproductivehealth/publications/family_planning/rhr_10_15/en/index.html Accessed June 30, 2011.
7. Jackson E, Curtis K, Gaffield M. Risk of venous thromboembolism during the postpartum period: a systematic review. Obstet Gynecol 2011;117:691–703.
8. Kapp N, Curtis KM. Combined oral contraceptive use among breastfeeding women: a systematic review. Contraception 2010;82:10–6.
9. Kapp N, Curtis KM. Intrauterine device insertion during the postpartum period: a systematic review. Contraception 2009;80:327–36.
10. Chen BA, Reeves MF, Hayes JL, Hohmann HL, Perriera LK, Creinin MD. Postplacental or delayed insertion of the levonorgestrel intrauterine device after vaginal delivery: a randomized controlled trial. Obstet Gynecol 2010;116:1079–87.